Kisah Pilu dari Dalam Gerbong Maut Bondowoso

Sedang Trending

Kisah Pilu dari Dalam Gerbong Maut Bondowoso


Stasiun Bondowoso menjadi saksi bisu terjadinya tragedi yang menewaskan masyarakat Indonesia saat menjadi tawanan Belanda. Peristiwa ini sendiri terjadi di masa transisi penjajahan Jepang ke Belanda yang membonceng sekutu. Kisah bermula ketika Angkatan Moeda Kereta Api (AMDA) mulai merebut sistem perkeretaapian dari Jepang. Ini menjadikan sebuah pertanda berdirinya Djawatan Kereta Api Indonesia (DKARI). Melalui ini, kereta api yang dulunya dikelola oleh Jepang diambil alih oleh tangan anak bangsa. Perlahan sistem perkeretaapian Indonesia dibenahi oleh DKARI dengan baik. Pada waktu itu, DKARI hanya menghimpun untuk wilayah Jawa karena wilayah Sumatera masih terdapat beberapa jawatan kereta swasta lainnya. Muncul inisiatif untuk menyatukan itu semua dalam sebuah wadah yang terintegrasi dalam Republik Indonesia. Pada 1947, pasukan Sekutu bersama pasukan Belanda mencoba masuk ke Indonesia. Berbagai upaya dilakukannya untuk menghalau Indonesia berdaulat. Tempat vital dikuasai termasuk stasiun kereta.

Belanda terus melakukan penangkapan besar-besaran terhadap TRI, Lasakar, Gerakan Bawah Tanah, dan orang-orang tanpa menghiraukan apakah yang bersangkutan berperan atau tidak dalam kegiatan perjuangan. Sehingga dalam waktu singkat penjara di Bondowoso tidak mampu lagi menampung tahanan yang pada waktu itu mencapai kurang lebih 637 orang. Kemudian, Belanda bermaksud memindahkan tahanan yang termasuk "pelanggaran berat" dari penjara Bondowoso ke penjara Kali Sosok, Surabaya. Untuk mengangkut para tahanan tersebut, mereka menggunakan beberapa unit sarana kereta api. Mereka yang ada di dalam gerbong adalah para pejuang Republik yang ditangkap Belanda. Peristiwa itu kemudian dikenang dengan sebutan tragedi gerbong maut Bondowoso. Peristiwa itu terjadi beberapa bulan setelah Agresi Militer Belanda I yang berlangsung pada 21 Juni 1947.

Kuatnya gempuran - gempuran tentara Belanda, yang didukung persenjataan yang lebih canggih, membuat banyak pasukan pro-Republik berantakan. Salah satu pasukan Republik yang tak kuasa menahan gempuran Belanda adalah pasukan bernama Semut Merah. Salah seorang anggotanya yang bernama Boengkoes kemudian bergabung dengan Batalyon Andjing Laut di Bondowoso. Nama Boengkoes belakangan dikaitkan dengan Peristiwa G30S PKI yang menewaskan M.T. Haryono. Dalam pengakuan Boengkoes kepada Ben Anderson, yang dirilis di jurnal Indonesia No. 78, 2004 dengan judul "The World of Sergeant Major Boengkoes", banyak pasukan republik yang terbunuh dan mereka yang selamat pun mengungsi ke daerah pegunungan. Tentu saja dalam operasi tentara Belanda itu banyak pejuang yang tertangkap. Di antara pejuang Indonesia yang tertangkap terdapat Koeswari. Dia seorang Komandan Polisi Maesan, Bondowoso. 

Menurut beberapa literatur, Koeswari tertangkap karena laporan orang-orang lokal yang menjadi mata-mata Belanda. Koeswari dibawa ke kantor bagian keamanan Brigade Marinir Belanda alias Veiligheids Dienst Mariniers Brigade (VDMB) di Jalan Jember, Bondowoso, pada 14 November 1947. VDMB adalah badan intelijen yang terkenal dengan penanganan keras. Kebanyakan, milisi pejuang Republik yang tertangkap mendapat siksaan berat dari serdadu-serdadu Belanda, baik itu serdadu KNIL yang kebanyakan warga Indonesia, maupun bule-bule Belanda yang tergabung dalam Angkatan Darat maupun Marinir Belanda. Area Tapal Kuda, yang berada di bagian timur Provinsi Jawa Timur, termasuk Bondowoso, menjadi wilayah operasi Marinir Belanda yang pernah dilatih Amerika. Beberapa foto kekejaman marinir Belanda saat itu tersebar di dunia maya. Koeswari pun tak luput dari penyiksaan serdadu Belanda. Dari kantor VDMB di Jalan Jember, pada 15 November, bersama tawanan lain Koeswari digelandang ke penjara Bondowoso. Seminggu lebih dia mendekam di sana.

Tawanan lain yang baru datang adalah Singgih yang tertangkap pada 20 September 1947 setelah rumahnya dikepung. Singgih lalu disatukan dengan banyak tawanan lain ke Penjara Bondowoso. Para tawanan masih diberi makan oleh penjaga penjara, setidaknya sampai Sabtu sore 22 November 1947 itu. Setelah makan, mereka dimasukkan ke dalam sel masing-masing. Beberapa tawanan ada yang mulai sibuk berkemas, walau tak tahu akan dipindahkan ke mana. Tidak ada yang tahu jika makan sore itu akan menjadi makan terakhir mereka. Mereka dibangunkan secara kasar pada tengah malam, sekitar pukul 01.00 WIB. Setelah mendapat perintah langsung dari Komandan J Van den Dorpe, Kepala Penjara mengumpulkan semua tahanan yang telah tercatat namanya. pukul 04.00 WIB, tahanan yang tercatat  dikumpulkan di depan penjara. Saat itu hari telah berganti menjadi Minggu, 23 November 1947, para tawanan dikeluarkan dari sel masing- masing. Komandan VDMB, Letnan Dua Marinir J. van den Dorpe, memerintahkan mereka keluar dan berbaris empat-empat di halaman penjara Bondowoso. Pada pukul 05.30 WIB Sebanyak 100 tawanan dipersiapkan menuju pemberangkatan. 


Mereka dibawa secara rahasia dari penjara menuju Stasiun Bondowoso. Para tawanan digiring menuju ke dalam tiga gerbong yang telah dipersiapkan sebelumnya. Gerbong pertama dengan nomor seri GR 10152 diisi sebanyak 38 orang. Gerbong kedua dengan seri GR 4416 diisi 29 orang. sisanya 33 orang berebutan masuk ke gerbong terakhir bernomor seri GR 5769 yang karena pada saat itu gerbong ketiga ini cukup panjang dan dalam keadaan masih baru. Pemindahan pertama dan kedua berjalan dengan baik karena gerbong yang mengangkut tahanan diberi ventilasi seluas 10-15 cm. Namun, saat pemindahan tahap ketiga, gerbong tertutup sangat rapat dan selama perjalanan rakyat tidak boleh keluar gerbong. Akibatnya, semua tahanan dalam gerbong menderita kelaparan dan kehausan. Pemindahan tahap ketiga inilah yang dikenal dengan sebutan "Gerbong Maut".

Sejumlah tahanan masuk gerbong tanpa diberi kesempatan sama sekali untuk makan pagi atau yang lainnya.  Tentu saja mereka dijaga dan dikawal oleh para serdadu-serdadu Belanda, baik Marinir maupun KNIL. Gerbong-gerbong itu berukuran kecil dan tertutup rapat dengan bahan yang terbuat dari plat baja yang nyaris tidak ada ventilasi. Pada pukul 07.00 WIB Setelah menunggu hampir empat jam, kereta dari Situbondo datang, maka saat itu juga gerbong digandeng. rombongan ini baru diberangkatkan dari Bondowoso ke Wonokromo, Surabaya.  Setelah digandeng lalu gerbong dikunci, keadaan menjadi gelap gulita dan udara terasa panas walaupun masih pagi. Pukul 07.30 WIB kereta bergerak menuju Surabaya. Saat itu hari masih pagi, semua masih baik-baik saja bagi tawanan. 

Udara pun masih segar. Menjelang siang, ketika matahari sudah mendekati titik tertinggi, penderitaan para tawanan dimulai. Di gerbong pertama, dengan jumlah tawanan terbanyak, beberapa tawanan sudah tak merasakan udara segar lagi untuk bernapas. Karbondioksida dari napas buang tawanan lain harus mereka hirup. Tepat di Stasiun Taman, mulai terjadi peristiwa memilukan. Beberapa bentakan pedas yang keluar dari tentara Belanda menggubris gedoran-gedoran para tahanan yang berasal dari gerbong, dengan mengatakan "Di sini tidak ada makanan dan air minum, yang ada cuma peluru." Kalimat inilah yang selalu keluar dari para penjajah, seperti yang diceritakan dalam Monumen Gerbong Maut. Akhirnya pada pukul 10.30 WIB kereta baru berangkat dari Jember menuju Pasuruan. Setelah meninggalkan Jember di siang hari, suasana gerbong bagaikan di dalam neraka karena atap dan dinding gerbong yang terbuat dari plat baja.  Sementara panas terik matahari pun terserap oleh seng yang menutupi gerbong. Udara dan suhu yang panas pun mendekati puncaknya.

Korban mulai berjatuhan ketika kereta baru memasuki Stasiun Kalisat pada pukul 11.00 WIB. gerbong tahanan harus dilepas dari rangkaian dan menunggu kereta dari Banyuwangi. Selama tiga jam,  para tahanan berada dalam terik matahari. Enam tawanan tewas lebih dulu. Ketika para tawanan menggedor-gedor gerbong untuk minta tolong, serdadu Belanda yang mengawal hanya berkata: "air dan angin tak ada, yang ada hanya peluru." Saat singgah di Stasiun Jember, ketika jumlah korban menjadi 12 orang, gerbong-gerbong itu dijemur dulu di bawah terik matahari sekitar tiga jam. Panas, pengap, dan haus menerjang para tawanan. Hanya air kencing saja yang paling mungkin untuk disesap guna menawarkan dahaga di kerongkongan mereka. Hujan lebat di sekitar Stasiun Klakah menjadi sedikit rejeki bagi mereka yang masih bertahan di dalam gerbong maut itu. 

Tubuh mereka menjadi sedikit lebih segar. dimanfaatkan para tahanan yang masih hidup untuk meneguk tetes demi tetes air dengan menjilat tetesan air yang berasal dari lubang-lubang kecil. Tidak demikian halnya dengan gerbong ketiga GR 10152 karena masih baru, para tahanan tidak mendapatkan tetesan air sedikitpun. Namun, pengap, lapar, dan haus masih bersama mereka. Tidak ada yang bisa dilakukan selain berdoa. Sesampainya di Stasiun Probolinggo, para tawanan di dalam gerbong kembali menggedor-gedor gerbong. Kali ini lebih keras dari gedoran sebelumnya. Mereka menjerit-jerit, suara mereka sudah parau, lengking kematian terdengar dari teriakan mereka. 

Mereka berteriak bahwa sudah 30 tawanan mati. Para serdadu Belanda tidak peduli. Salah satu serdadu yang mengawal ketika itu pun mengatakan: "Biar mati semua, saya lebih senang daripada ada yang masih hidup." Pukul 12.00 WIB sampai dengan 19.00 WIB, Pihak Belanda tak menghiraukan suara yang terdengar dari dalam gerbong dan terus melanjutkan perjalanan. Antara Pasuruan menuju Bangil, hujan deras mengguyur gerbong dan menyebabkan udara dalam gerbong menjadi lebih sejuk. Keadaan ini menjadi sedikit penolong bagi tawanan dalam gerbong. Namun nasib nahas menimpa tawanan di Gerbong GR 10152 karena tergolong gerbong baru sehingga udara dan air hujan tak dapat masuk ke dalam. Antara Bangil sampai Sidoarjo, suara rintihan tawanan sudah tak terdengar dan seketika hening.

Setelah sekitar 15 jam tersiksa dalam gerbong maut itu, pada pukul 19.30 WIB mereka pun tiba di stasiun terakhir, Stasiun Wonokromo. Setelah mendata, di Gerbong I sebanyak 5 orang sakit keras, 27 orang sehat tapi kondisi lemas lunglai, Gerbong II sebanyak 8 orang meninggal, 6 orang sehat, dan di Gerbong III seluruh tawanan sebanyak 38 orang meninggal. Total korban yang tewas sudah menjadi 46 orang. Menurut buku Monumen Perjuangan Jawa Timur, di antara mereka yang masih hidup, 12 orang di antaranya sakit parah, 30 lemas tak berdaya dan hanya 12 orang yang dianggap benar-benar sehat. Koeswari termasuk yang sakit parah. Mereka yang masih hidup ini pun dijebloskan di Penjara Bubutan. Mereka tak diperbolehkan mendekat satu sama lain. Mereka yang masih hidup itu dipenjara beberapa bulan. 


Para tahanan yang sehat dipaksa menganggkut temannya yang sudah meninggal. Semua jenazah diletakkan sejajar. Setelah dievakuasi, jenazah harus diangkut dengan sangat hati-hati sebab kalau tidak daging jenazah akan mengelupas akibat kepanasan. Di antaranya baru dibebaskan pada tahun berikutnya.  Peristiwa memilukan Gerbong Maut ini menjadi satu dari sekian episode kelam dalam fase perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Perlakuan keji para serdadu Belanda terhadap para tawanan menjadi salah satu ilustrasi kebiadaban serdadu Belanda yang berusaha kembali menguasai Indonesia yang sudah menyatakan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Bersama pembantaian di Rawagede atau pembantaian oleh Westerling, tragedi Gerbong Maut diingat sebagai bukti tak terbantahkan tentang kekejaman yang dilakukan oleh serdadu Belanda. Mereka sungguh-sungguh tidak peduli dengan hukum perang, membantai para penduduk sipil, maupun membunuh para tawanan yang seharusnya dilindungi.

Posting Komentar

Mohon gunakan bahasa yang baik dan sopan dalam berkomunikasi. Terima kasih atas kritik dan saran yang diberikan!

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak