Gerbong aling-aling, yang awalnya menjadi sorotan dalam dunia kereta api di Indonesia, mencatat sejak diterapkan sebagai langkah responsif terhadap tragedi di Stasiun Petarukan dan Langen. Gerbong ini dirancang untuk memberikan perlindungan tambahan kepada penumpang dalam kecelakaan, khususnya saat terjadi tumburan dari depan atau belakang rangkaian KA. Meskipun bertujuan baik, kebijakan ini menuai pro dan kontra dari berbagai pihak.
Sejarah kebijakan gerbong aling-aling bermula dari tragedi di Stasiun Petarukan, melibatkan KA Argo Bromo Anggrek dan KA Senja Utama Semarang. Korban kecelakaan ini merenggut nyawa lebih dari 30 orang. Belum lepas ingatan kita dengan peristiwa kecelakaan di Petarukan, terjadi kecelakaan lagi di Stasiun Langen, Jawa Barat. Stasiun Langen juga menyaksikan peristiwa serupa antara KA Mutiara Selatan dan KA Kutojaya Selatan, menambah daftar insiden yang mengguncang Perkeretaapian di Indonesia. Dampaknya lebih dari 5 orang meninggal dunia. Para korban kecelakaan KA umumnya yang naik di gerbong kereta paling depan atau paling belakang. Namun korban di Petarukan karena benturan dahsyat sehingga korbanya tidak sedikit. Kecelakaan yang berakibat fatal tersebut, dipicu oleh human error, menjadi pemantik kebijakan baru.
Dua peristiwa kecelakaan KA di tempat berbeda, memberi pelajaran kepada KAI pada saat kepemimpinan Ignasius Jonan. Langkah pencegahan dampak kecelakaan pun diantisipasi. Diantaranya merangkaikan gerbong kereta aling- aling dalam setiap perjalanan KA. Pada masa pertama kali kebijakan ini diterapkan, kereta aling-aling dipasang pada rangkaian paling depan dan paling belakang urutan KA. Gerbong aling-aling bisa berupa gerbong bagasi dengan power listrik yang biasa disebut BP (Bagasi Power), atau bisa juga kereta B (bagasi) saja. Kenapa lebih tepat gerbong kereta B atau BP? Seperti fungsinya sebagai aling-aling dan tidak harus merubah gerbong penumpang.
Dalam kamus bahasa Indonesia Aling-aling artinya pelindung, penahan atau penyekat. Namun kita ambil yang lebih tepatnya pelindung. Jadi penempatan kereta Aling-aling dalam setiap perjalanan KA, khususnya KA penumpang jarak jauh, kereta aling-aling berfungsi sebagai pelindung bila terjadi benturan keras. Bisa tabrakan dari depan dan atau dari belakang. Namun, implementasi kebijakan ini tidak berjalan mulus. Konsumen jasa kereta api merasakan dampaknya, terutama karena kereta kosong dilarang diakses, meskipun kereta penuh. Bahkan, dalam beberapa kasus ekstrem, bangku kereta ekonomi dibongkar agar penumpang tidak dapat memaksa masuk. Keluhan juga datang dari masinis kereta api, yang menghadapi kendala leknis, seperti lepasnya alat perangkai (Coupler) akibat perbedaan ketinggian saat kereta melaju.
Kebijakan kereta Aling-aling ini diterapkan pada masa perubahan dalam penataan perusahaan. Jauh sebelum ada pembatasan penumpang 100 %. Sistem keselamatan KA saat itu juga dalam proses penataan, sehingga kebijakan penempatan kereta aling-aling juga bagian dari proses menuju keselamatan operasi KA yang permanen untuk menjamin keselamatan KA secara keseluruhan. Penerapan kebijakan penempatan gerbong kereta aling-aling pada masa itu dengan jumlah gerbong B atau BP sebagai gerbong aling-aling yang paling ideal sangat terbatas, sehingga KAI menggunakan kereta-kereta penumpang untuk digunakan sebagai gerbong aling-aling. Sebut saja seperti kereta kelas eksekutif, bisnis dan kereta ekonomi dikorbankan untuk kereta aling-aling.
Pemberlakuan kebijakan ini pro kontra dan penuh tantangan di lapangan. Pihak internal perusahaan KAI mengecam kebijakan yang mereduksi kapasitas angkut kereta, sementara pemasaran khawatir pendapatan menurun akibat alokasi tempat duduk untuk kereta aling-aling. Sementara di bagian sarana, tantangan muncul dalam menutup rapat gerbong kereta, awalnya menggunakan krul (ikat) kawat, namun kerap dibuka paksa oleh segerombolan roker (rombongan kereta). Kru kereta api kesulitan mencegah masuknya roker yang bergerombol, menyebabkan gerbong kereta aling-aling akhirnya dilas pintunya dan jendela kaca yang sering dipecahkan oleh penumpang diganti dengan besi pelat baja. Upaya sterilisasi yang ketat membuat kondisi gerbong sulit dibersihkan, menyebabkan jok, lantai, dan dinding menjadi berdebu, membuat roker enggan memasuki gerbong tersebut.
Julukan "Gerbong Setan" atau "Gerbong Hantu" pun muncul karena reputasi angker. Meski julukan ini diabaikan oleh PT KAI demi menjaga keselamatan penumpang dan harta benda, tetapi pada suatu hari terjadi insiden ketika ratusan oknum TNI memasuki gerbong, dan beberapa stasiun tidak mampu mengatasinya. Sebagai respons, Direksi memilih menurunkan pejabat tertinggi di Cirebon, memberikan sanksi mutasi oleh KADAOP, merinci bahwa mereka dianggap belum mampu melaksanakan tugas dan mendukung kebijakan perusahaan. Langkah keras ini diambil sebagai pelajaran bagi petugas atau pejabat internal PT.KAI yang tidak melaksanakan tugas dengan baik. Meskipun kontroversial, keberhasilan PT KAI dalam mengimplementasikan kebijakan gerbong aling-aling, yang pro dan kontra diinternal maupun eksternal, terbukti.
Secara bertahap, PT KAI juga telah menyelesaikan pengadaan gerbong Bagasi sebagai langkah tambahan untuk melindungi kereta penumpang, menunjukkan komitmen mereka terhadap keselamatan dan kenyamanan para penumpang. Para petugas KAI di stasiun maupun di atas KA hampir setiap hari kontra dengan penumpang. Para Kru KA kondektur, teknisi KA dan Masinis harus berjibaku mempertahankan kebijakan kereta aling-aling dari serbuan penumpaang yang ingin masuk dan biasanya grup ini mafia penumpang tanpa tiket dari oknum-oknum TNI, PNS, dan pegawai swasta lainnya yang umumnya setiap minggu pulang kampung karena keluarga tidak tinggal di Jakarta.
Pada tanggal 12 Agustus 2016, berita menggembirakan menyapu bersih komunitas penggemar kereta api, terutama yang tergabung dalam grup Facebook Indonesian Railfans. Kabar tersebut menegaskan bahwa kebijakan gerbong aling-aling, baik di bagian depan maupun belakang, resmi dihapuskan. Reaksi beragam pun bermunculan di antara mereka yang akrab dengan dunia perkeretaapian.
Beberapa penggemar merasa senang dengan penghapusan gerbong aling-aling, memandangnya sebagai penyempurnaan penampilan kereta di lintas. Bagi penyewa kereta wisata Nusantara, kini mereka dapat lebih leluasa menikmati pemandangan melalui balkon tanpa terhalangi. Sisi positif juga muncul dari penumpang yang lebih suka duduk di kereta belakang atau depan, mereka dapat menikmati keunikan perjalanan dengan lebih bebas.
Meskipun tujuan awal kebijakan adalah melindungi penumpang dari potensi kecelakaan, penghapusan gerbong aling-aling dianggap sebagai langkah positif oleh sebagian pihak. Dalam pandangan mereka, pencegahan kecelakaan dapat dicapai lebih efektif dengan perbaikan dan peningkatan sistem prasarana operasional kereta api, termasuk persinyalan dan optimalisasi sarana komunikasi antar kru kereta api.
Dengan penghapusan gerbong aling-aling, harapan muncul bahwa perubahan positif akan membawa dampak signifikan dalam pelayanan kereta penumpang. Misi "Zero Accident" dapat terwujud dengan lebih baik, menjadikan perjalanan kereta api lebih tertib, aman, dan nyaman.
Label
Sarana KA