Sejak kedatangan NICA (Netherlands-Indies Civil Administration) ke Indonesia pada September 1945, Jakarta sebagai ibu kota mengalami ketidakstabilan politik. Kelompok pro-kemerdekaan dan kelompok pro-Belanda saling serang. Ketua Komisi Nasional Jakarta Mohammad Roem mendapat serangan fisik. Perdana Menteri Sjahrir dan Menteri Penerangan Amir Sjarifuddin juga nyaris dibunuh oleh simpatisan Belanda. Karena itu, pada tanggal 1 Januari 1946, Presiden Soekarno memberikan perintah rahasia kepada Balai Yasa Manggarai untuk segera menyiapkan rangkaian kereta api demi menyelamatkan para petinggi negara. Pada 2 Januari 1946, supervisor masinis Depo Lokomotif Jatinegara, Sarip, mendapat perintah untuk menyiapkan lokomotif terbaik yang ternyata akan digunakan untuk mengangkut Presiden dan Wapres dari Jakarta menuju Jogja. Lalu keesokan harinya, pada tanggal 3 Januari 1946, Bung Karno memutuskan untuk memindahkan ibu kota dari Jakarta ke Yogyakarta. Sejumlah pejabat negara mulai dari Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Hatta beserta beberapa menteri/ staf dan keluarganya harus segera bertolak ke Yogya. Namun rombongan meninggalkan Perdana Menteri Sultan Sjahrir dan kelompok yang karena sedang bernegosiasi dengan Belanda di Jakarta. Gangguan yang dilakukan oleh NICA terhadap kehidupan politik Jakarta membuat Soekarno memutuskan untuk memindahkan pusat pemerintahan ke Yogyakarta, Yogyakarta dipilih karena dianggap lebih aman dari tempat lain dan juga didukung oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX.
Inisiatif ini melibatkan para pegawai kereta api yang dengan cepat menyiapkan gerbong-gerbong untuk membawa rombongan presiden. Husein adalah seorang Masinis beserta Juru Api Murtado dan Suad yang mengawaki Lokomotif Uap C2849. Lokomotif Kelas C28 adalah lokomotif andalan pada masa itu dan biasa dipergunakan untuk menghela KA ekspres sehingga satu unit loko dari kelas tersebut akhirnya dipilih sebagai penghela rangkaian Kereta Luar Biasa (KLB) ini. Keberangkatan menuju Yogyakarta dilakukan dengan kereta api, dipilih karena dianggap lebih aman daripada kendaraan lain. Perpindahan dilakukan dengan menggunakan kereta api berjadwal khusus sehingga disebut dengan perjalanan Kereta Luar Biasa (KLB).
Lokomotif uap seri C28 |
Perjalanan KLB ini mengunakan lokomotif uap nomor C2849 bertipe C28 buatan pabrik Henschel, Jerman, dengan rangkaian kereta inspeksi yang disediakan Djawatan Kereta Api (DKA). Rangkaian kereta api ini terdiri dari delapan kereta mencakup satu kereta bagasi, dua kereta penumpang kelas 1 dan 2, satu kereta makan, satu kereta tidur kelas 1, satu kereta tidur kelas 2, satu kereta inspeksi untuk Presiden, dan satu kereta inspeksi untuk Wakil Presiden. Gerbong berjenis IL.7 dan IL.8, diisi oleh presiden dan rombongan, diletakkan di bagian paling belakang dengan sistem pendingin udara menggunakan es balok.
Dua unit kereta bersejarah itu kini tersimpan di TMII, Jakarta. Sukotjo mengisahkan, saat itu perjalanan dimulai pada sore hari dengan KLB berangkat dari Stasiun Manggarai menuju Halte Pegangsaan dan kereta api berhenti tepat di belakang rumah Bung Karno di Jalan Pegangsaan Timur 56. Setelah 15 menit keberangkatan, KLB kembali ke Stasiun Manggarai dan memasuki jalur 6. Kereta api kemudian melanjutkan perjalanan ke Jatinegara dengan kecepatan 25 km per jam. KLB berhenti di Stasiun Jatinegara menunggu sinyal aman dari Stasiun Klender. Menjelang pukul 19.00, KLB melanjutkan perjalanan tanpa lampu dan bergerak lambat agar tidak menarik perhatian para pencegat kereta api yang marak di wilayah itu. Tak hanya di dalam kereta, pengamanan juga dilakukan di jalan raya yang bersinggungan dengan jalur kereta, sebuah gerbong kosong juga diletakkan sebagai barikade. Perjalanan gelap malam pun dimulai dari Jakarta, dengan lampu KLB yang dimatikan hingga melewati Stasiun Klender untuk menghindari kecurigaan. Selepas Stasiun Klender, lampu KLB dinyalakan dan kereta api langsung melaju cepat dengan kecepatan 90 km per jam. Sepanjang perjalanan, KLB hanya berhenti dua kali yakni di Stasiun Cikampek pada pukul 20.00 dan Stasiun Purwokerto pukul 01.00. Saat tiba di stasiun-stasiun tersebut, pemuda kereta api bergantian mengawal kereta api sampai Yogyakarta. Setiap Stasiun yang berhenti disambut oleh ribuan rakyat, memekikan "merdeka, merdeka...!".
Perjalanan dari Jakarta ke Yogyakarta memakan waktu sekitar kurang lebih 13 jam, dimulai pukul 19.00 malam dan tiba di Stasiun Tugu Yogyakarta pada pukul 09.00 pagi. Sejak saat itu Ibukota RI berpindah ke Yogyakarta untuk sementara waktu. Setibanya di Stasiun Tugu, rombongan presiden dijemput oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Paku Alam VIII. Mereka kemudian menuju Pura Pakualaman, di mana Presiden Soekarno tinggal sementara di Bangsal Parangkarsa. Meskipun demikian, para awak kereta api yang bertugas Kereta Luar Biasa pada 3-4 Januari 1946 itu seolah terlupakan. Mereka adalah Masinis Husein; Juru Api Suad & Murtado; Awak Pelayan KA Sapi'e & Kasban, Koki Moh. Saleh & Sulaiman; Mekanik Tukimin, Min Hai & Irei, lalu Kondektur Sujono & Sastrosardono; Teknisi Listrik Hidayat; Pelayan Restorasi KA Amir, Kasim, Aje, Subandi, Rahali, Jimin, Slamet, Jahidin, Nata dan Ilyas (Sumber: Buku Sejarah Perkeretaapian Indonesia, Jilid 2). Pengabdian mereka sebagai awak KLB itu patut kita hormati & hargai.
Peran penting KLB dan pegawai kereta api diakui oleh Presiden Soekarno dalam pidato pada dwidasawarsa PNKA (Perusahaan Nasional Kereta Api) 28 September 1965. Presiden Soekarno di depan para pegawai kereta api menegaskan bagaimana peranan KLB yang berhasil menyelamatkan presiden sekaligus negara. “Saya merasa terharu jika mengingat kejadian magrib 4 Januari 1946. Saudara tahu Pegangsaan Timur No. 56 itu adalah di tepi jalan kereta api. Saudara Anwir ini magrib-magrib membawa kereta api di belakang rumah saya itu. Pada waktu sudah mulai gelap, saya dimasukkan dalam kereta api itu dan terus diangkut ke Yogyakarta. Dan dari Yogyakartalah revolusi dipimpin terus, revolusi mendapat pimpinan terus. Sampai saudara-suadara mengetahui sejarah Yogyakarta. Kemudian kembali ke Jakarta, sampai sekarang alhamdulillah revolusi selamat... Siapa bilang saya dari Tegal, saya dari Majalengka. Siapa bilang revolusi kita gagal? sebab kita punya PNKA...”(Pidato Presiden No. 811, 28 September 1965. Arsip Nasional Republik Indonesia).
Dua dari delapan gerbong Kereta Luar Biasa tersebut kini tersimpan di Museum Transportasi, Taman Mini Indonesia Indah.
Meskipun kondisinya tidak lagi utuh, gerbong bersejarah ini tetap menjadi saksi bisu perjalanan bangsa ini yang takkan terlupakan dalam sejarah revolusi Indonesia.
Label
Historia KA