Pandanaran di Era Reformasi dan Sempat Menjadi Praktek Kriminal

Sedang Trending

Pandanaran di Era Reformasi dan Sempat Menjadi Praktek Kriminal

Kereta Api Pandanaran, melaju dengan kecepatan yang terbatas, sekitar 35 km/jam, kereta ini menempuh perjalanan dari Stasiun Solojebres ke Semarangponcol, Jawa Tengah sejauh 110 km dalam hampir empat jam perjalanan yang penuh petualangan. Pandanaran adalah KA Kelas Ekonomi yang melayani rute Semarang-Yogyakarta. Diluncurkan sekitar tahun 1970 sebagai respons terhadap munculnya KA Parahyangan, Pandanaran awalnya direncanakan sebagai KA Unggulan. Namun, kendati begitu, Pandanaran kemudian turun kelas menjadi KA Campuran. Proyek Pandanaran berawal dari keinginan untuk bersaing dengan KA Parahyangan dan melanjutkan tradisi perjalanan cepat yang ditinggalkan oleh Vlugge Vijf milik NIS sebelum Pendudukan Jepang. 

Pada tahun 1971, Pandanaran mulai beroperasi dengan lima jadwal perjalanan menghubungkan Semarang-Solo-Yogyakarta, dengan kereta berwarna oranye-krem. Dalam perjalanannya, kereta ini mampir di setiap stasiun mulai dari Kalioso hingga Brombong lewat Gundih, dengan penumpang yang terus bertambah sepanjang perjalanan. Meskipun perjalanan terasa lama, tarif yang terjangkau membuat banyak orang memilih Kereta Api Pandanaran sebagai sarana transportasi favorit, terutama untuk perjalanan dari Solo ke Semarang yang hanya dikenai tarif Rp 1.700. Meski demikian, pengalaman di dalam kereta Pandanaran tidaklah terasa mewah. Kondisi penumpukan barang dagangan di dalam gerbong, termasuk di atapnya, membuat sebagian penumpang memilih untuk naik ke atap gerbong untuk mendapatkan ruang yang lebih luas. 

Interior KA Pandanaran
Foto: Step O'Raffery

Meskipun terkesan penuh perjuangan, penumpang kelas ekonomi umumnya siap untuk menderita demi tarif yang terjangkau. Pemandangan di dalam kereta ini mencerminkan kehidupan sehari-hari masyarakat Jawa Tengah. Mulai dari penumpang yang bepergian untuk silaturahmi ke sanak saudara hingga pedagang antardesa yang memanfaatkan kereta ini untuk mengangkut dagangannya. Pandanaran menjadi satu-satunya penghubung antara Solo dan Semarang lewat jalur timur tanpa ada jalan raya sebagai alternatif, sehingga kedatangan dan keberangkatan kereta selalu menjadi momen istimewa bagi warga sekitar stasiun. Namun, konsep awal Pandanaran tidak berjalan lancar. Persaingan dengan angkutan jalan raya serta kebutuhan untuk melayani stasiun-stasiun antara seperti Kedungjati, Telawa, dan Gundih membuat Pandanaran mengalami kesulitan mendapatkan penumpang. Jadwal perjalanan pun direvisi untuk memasukkan berhenti di stasiun-stasiun tersebut. 

Puncak masalah terjadi pada 17 Juni 1973, ketika KA 75 Pandanaran bertabrakan dengan KA 2620 (Barang) di stasiun Telawa, Boyolali. Tabrakan tersebut mengakibatkan 11 orang meninggal dunia dan kerusakan berat pada dua lokomotif, BB200 35 dan CC200 01. Akibat insiden tersebut, Pandanaran kemudian diperpendek menjadi hanya melayani rute Semarang-Solo. Di era 1980an, Pandanaran turun kelas menjadi KA Kelas 3 biasa, dan pada era 1990an, menjadi KA Campuran dengan penggunaan gerbong-gerbong barang dan petikemas. Meskipun demikian, Kereta Api Pandanaran memiliki daya tariknya sendiri. Dari penumpang yang bermacam-macam jenisnya hingga dagangan yang beragam, perjalanan dengan kereta ini menjadi pengalaman yang tak terlupakan bagi banyak orang. Terlebih lagi, di dalam kereta ini juga dijajakan berbagai macam makanan dan kebutuhan sehari-hari, menjadikannya sebagai tempat yang lengkap seperti restoran dan pasar berjalan.

Kondisi KA Pandanaran, termasuk angkutan kayu curian
Foto: Step O'Rafferty

Pada awal era Reformasi, Pandanaran digunakan untuk mengangkut kayu jati hasil jarahan dari lahan Perhutani di sekitar jalur Solo-Semarang. Namun, penggunaan ini berujung pada praktik kriminal yang melibatkan pegawai Perumka dan penjahat, hingga akhirnya Pandanaran dihapus pada tahun 1999/2000. Pada masa operasinya, KA Pandanaran mengalami berbagai perubahan dalam stamformasi dan rute perjalanan. Pada tahun 1989, stamformasi Pandanaran terdiri dari dua rangkaian kereta, yaitu KA 246 Pandanaran yang melayani rute SMT-SLO dan KA 247 Pandanaran yang melayani rute sebaliknya, SLO-SMT. Selang beberapa tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1994, stamformasi Pandanaran mengalami perubahan dengan penambahan lokomotif BB200 dan pengurangan jumlah kereta kelas tiga menjadi empat. KA 210 Pandanaran melayani rute SMC-SLO, sementara KA 211 Pandanaran melayani rute sebaliknya, SLO-SMC. Stamformasi ini terdiri dari satu lokomotif BB200 dan empat K3. Perubahan terus berlanjut pada tahun 1996, di mana stamformasi Pandanaran kembali mengalami penyesuaian. KA 309 Pandanaran dan KA 310 Pandanaran melayani rute SLO-SMC dan SMC-SLO, dengan tambahan kereta kelas tiga serta kereta khusus penumpang (KP3) dan gerbong barang (B). Stamformasi ini mencerminkan upaya untuk meningkatkan kapasitas dan fleksibilitas layanan kereta api. Pada tahun 1998, Pandanaran mengalami perubahan lagi dengan masuknya rangkaian dari Dipo Kereta Semarang Poncol. KA 217 Pandanaran dan KA 218 Pandanaran melayani rute SLO-PK dan PK-SLO dengan stamformasi yang terdiri dari satu lokomotif CC201, tiga K3, satu KP3, dan satu KMP3.

Posting Komentar

Mohon gunakan bahasa yang baik dan sopan dalam berkomunikasi. Terima kasih atas kritik dan saran yang diberikan!

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak