Ketika Anda berada di Yogyakarta, Anda mungkin akan tertarik dengan salah satu keunikan yang dimiliki oleh Stasiun Tugu Yogyakarta, yaitu palang pintu perlintasan KA ikonik yang tak seperti yang biasa ditemui di tempat lain. Di sinilah palang pintu tidaklah naik atau turun seperti lazimnya, melainkan bergerak secara horizontal, menyatu dengan kemegahan Jalan Malioboro, dan menjadi satu-satunya jenis palang pintu dengan sistem geser di Indonesia.
Menyambut wisatawan yang ramai di ujung Jalan Malioboro, keputusan untuk mengadopsi bentuk ini bukan semata-mata kebetulan, melainkan juga memiliki nilai filosofis yang mendalam. Menurut Manajer Humas PT KAI Daop 6 Yogyakarta, Eko Budiyanto, pertimbangan pertama adalah aspek estetika. Dengan lokasinya yang strategis di dekat Stasiun Yogyakarta dan Jalan Malioboro yang merupakan magnet bagi wisatawan, keindahan visual menjadi pertimbangan utama.
Foto: Ian Antono |
Namun, tak hanya soal keindahan semata. Palang perlintasan KA ini tidak hanya sekadar menjadi penghubung fisik antara dua jalan, pintu perlintasan KA ini juga dipilih karena berada tepat di sumbu imajiner yang menghubungkan Gunung Merapi, Tugu Pal Putih, Keraton Yogyakarta hingga Pantai Parangtritis. Lebih dari sekadar menarik secara visual, keputusan ini juga mencerminkan penghormatan terhadap warisan budaya, terutama Keraton Yogyakarta.
Uniknya, palang pintu KA ini bukan hanya sekadar fitur teknis, tetapi juga mengandung sejarah panjang. Dibangun pada tahun 1887 bersamaan dengan pembangunan Stasiun Tugu Yogya, awalnya palang perlintasan kereta ini terbuat dari besi, sebelum kemudian bermetamorfosis menjadi palang perlintasan geser pada era 1940-an. Keputusan untuk dibuatnya palang pintu ini bergeser adalah sebagai penghormatan terhadap Keraton Yogyakarta. Dengan begitu, palang pintu tidak menghalangi lintasan spiritual dari kraton ke Tugu Pal Putih dan Merapi, sebagai sumbu imajiner yang melintasi kota ini.
Foto: Ari Tri Atmojo |
Palang pintu yang memisahkan Jalan Mangkubumi dengan Jalan Malioboro, dua arteri utama Yogyakarta dengan arus lalu lintas yang padat ini merupakan salah satu ciri khas dari keindahan Kota Gudeg ini. Dioperasikan oleh Pos Jaga Lintasan (PJL) yang bernomor registrasi PJL 3A dan PJL 3B di sebelah barat perlintasan tersebut. Sebagai langkah untuk mengurangi kemacetan, perlintasan ini hanya boleh dilalui oleh pejalan kaki, sepeda, dan becak saja.
Kendaraan bermotor dialihkan melalui rute alternatif yang telah disediakan, mengurangi beban lalu lintas di sekitar Jalan Malioboro. Meskipun palang pintu ini memiliki keunikan tersendiri, namun perlu diingat bahwa aturan yang berlaku tetap harus diikuti. Pengendara sepeda motor yang nekat melintas akan dikenakan sanksi, sesuai dengan aturan yang berlaku.
Kereta melintas di Jalan Malioboro, Yogyakarta tahun 1986 Foto: Dhr. J.D. (Jaap) de Jonge |
Perlintasan kereta api antara Jalan Malioboro dan Jalan P. Mangkubumi di Yogyakarta pada tahun 1986. Sumber: Collectiennederland |
Jadi, ketika Anda berada di Yogyakarta, jangan lewatkan untuk mengunjungi Stasiun Tugu dan menikmati keunikan palang pintu yang tidak hanya memagari lintasan kereta, tetapi juga memagari nilai-nilai tradisi dan keindahan kota.
Keputusan untuk mengadopsi pintu perlintasan kereta api dengan sistem geser di Yogyakarta bukan sekadar inovasi teknis, melainkan juga penghormatan terhadap nilai estetika dan filosofis yang melekat pada kota ini. Dengan demikian, setiap detail pembangunan infrastruktur tidak hanya menjadi fungsional, tetapi juga membawa makna yang mendalam bagi kehidupan masyarakat setempat.
Label
Prasarana KA