Kereta Api Bima adalah kereta api ekspress malam eksekutif ber-AC yang melayani rute Jakarta (Gambir) hingga Surabaya (Gubeng), melalui Cirebon, Purwokerto, Yogyakarta, Solo dan Madiun. Kereta api Bima ini sendiri mulai beroperasi pada tanggal 1 Juni 1967, dan terdiri dari 2 rangkaian, yaitu Bima I dan Bima II. Mereka menggunakan gerbong tidur berwarna biru buatan Gorlitz Waggenbau, Jerman Timur, tahun 1967. Kereta api ini awalnya merupakan sebuah kereta api tidur, dan merupakan salah satu KA ber-AC pertama yang operasional di Indonesia. KA ini adalah kereta api pertama yang diperlengkapi dengan gerbong pembangkit. Rangkaian kereta api Bima terdiri dari gerbong tidur kelas 1 (SAGW) dan gerbong tidur kelas 2 (SBGW), serta gerbong pembangkit dan bagasi.
Pada masanya, KA Bima dipandang cukup revolusioner. Kereta api ini adalah kereta pertama yang menggunakan gerbong pembangkit untuk sumber tenaga listrik. Selain itu KA Bima adalah KA pertama yang menggunakan sistem AC berfreon yang umum dipakai sekarang. Namun tidak seperti sekarang, waktu itu AC terletak di bawah gerbong, dan udara dingin dialirkan ke kabin penumpang melalui jaringan pipa di dalam gerbong. Ciri khas dari sistem AC ini adalah deretan tonjolan bulat di atap gerbong. Bahkan ruang istirahat di gerbong pembangkit juga dilengkapi dengan AC. Gerbong kelas 1 terdiri dari kabin-kabin yang tempat tidurnya sejajar mengikuti arah kereta. Sedangkan gerbong kelas 2 tempat tidurnya posisinya melintang terhadap arah kereta. Harga tiket penumpang sudah termasuk makan malam dan sarapan, yang disajikan di kereta makan (tidak seperti sekarang yang disajikan langsung di tempat duduk).
Namun pada tahun 1984, kereta api ini berganti menjadi kereta api eksekutif, dengan mengganti rangkaian gerbong tidur dengan gerbong tempat duduk. Walaupun begitu di tiap rangkaiannya masih ada dua gerbong tidur kelas 2 yang beroperasi hingga tahun 1990, sebelum diganti gerbong tidur kuset. Kereta api Bima menjadi kereta api eksekutif penuh di tahun 1995, sewaktu gerbong kusetnya dihapus. Hingga kini kereta api Bima masih beroperasi dengan konfigurasi ini. Karyawan yang bertugas di kereta api Bima juga memperoleh kemewahan yang tak dijumpai pada kereta api eksekutif pada saat ini. Jika dibandingkan dengan saat ini, operator gerbong pembangkit (DPPW) saat itu memperoleh kenyamanan ekstra karena kompartemen di gerbong pembangkit dibuat kedap suara, serta diperlengkapi dengan AC. Selain itu, petugas restorasi juga mendapatkan tempat kerja yang sangat nyaman. Bahkan dapurnya sekalipun juga diperlengkapi dengan panel kayu! Fasilitas kerja karyawan restorasi juga diperlengkapi dengan sistem panel elektronik untuk membantu kerja pelayanan penumpang. Pada jaman dulu, petugas gerbong pembangkit berisitirahat di ruangan ber-AC yang kedap suara. Bandingkan dengan petugas P jaman sekarang yang ruang isitrahatnya tidak ber-AC dan bising, sehingga kadang mereka “mengungsi” ke kereta makan atau gerbong penumpang.
1. Kereta Makan (FW)
Setiap rangkaian KA Bima selalu membawa satu gerbong makan (FW). Gerbong makan ini biasanya ditaruh di tengah rangkaian kereta api. Namun pada tahun 1960an hingga tahun 1980an, gerbong makan ini bisa ditaruh di ujung rangkaian (bisa di depan atau belakang rangkaian). Gerbong makannya terdiri dari dapur, serta ruang makan yang menyerupai restoran, dimana penumpang duduk di meja untuk 4 orang. Jika dibandingkan dengan gerbong makan di KA eksekutif lainnya pada saat itu (Mutiara Utara) gerbong makan KA Bima tidak mempunyai banyak perbedaan, mengingat keduanya berasal dari pabrik yang sama. Bagi penumpang yang ingin menikmati kenyamanan kereta api Bima dengan tarif paling murah, mereka biasanya naik kereta tidur kelas 2. Walaupun kelas 2, tetapi kenyamanannya masih setara dengan yang kelas 1. Tidak seperti kereta sekarang, dimana kenyamanan antara kelas 1 (“Eksekutif”) dengan kelas 2 (“Bisnis”) berbeda jauh.
Pada masanya, makanan yang disajikan diatas kereta terhitung istimewa. Walaupun sudah termasuk tuslah (termasuk harga tiket), tetapi menu makanannya bervariasi, dan porsinya besar. Itu bisa berupa bistik, nasi rames, nasi goreng, lengkap dengan makanan penutupnya yang umumnya berupa puding. Selain itu kualitas makanannya cukup bersaing dengan yang umumnya disajikan di hotel berbintang.
Makanan bisa disajikan secara a la carté, dimana makanan disajikan kepada penumpang yang duduk di meja, atau disajikan secara prasmanan (buffet), dimana makanan disajikan di salah satu meja di sudut kereta makan, dan penumpang tinggal mengambil sendiri makanannya.
2. Kereta Tidur Kelas 2 (SBGW)
Kabinnya sendiri posisinya berada di samping, dan di sisi lain terdapat gang yang digunakan sebagai jalan lewat penumpang dan petugas. Di satu sisi gang terdapat jendela-jendela, dan di sisi lain adalah pintu geser masuk ke dalam kamar penumpang. Di bawah jendela terdapat asbak rokok, karena merokok di dalam kabin ber-AC pada dasarnya dilarang. Yang menjadi ciri khas dari kereta tidur kelas 2 di gerbong SBGW adalah konfigurasi susunan tempat tidurnya. Posisi tempat tidurnya melintang terhadap arah perjalanan. Semua tempat tidur itu berada dalam kabin-kabin, dimana tiap kamar terdiri dari 3 tempat tidur yang posisinya bertingkat dan bersebelahan. Pada awal-awal perjalanan, biasanya tempat tidurnya selalu pada posisi dilipat. Dan penumpang duduk di kursi layaknya di kereta biasa. Hanya saja mereka berada di dalam kabin sendiri. Saat makan tiba, para penumpang akan dipanggil untuk datang ke gerbong restorasi untuk makan. Biasanya panggilannya digilir per gerbong, karena batas kapasitas.
Pada saat penumpang menikmati sajian makan malam, para petugas restorasi sibuk melipat kursi, dan mengubahnya menjadi tempat tidur. Selain itu mereka juga memasang dan merapikan selimut di tempat tidur. Setelah selesai makan, para penumpang kembali ke kamar masing-masing dan langsung tidur. Konfigurasi interior gerbong ini berbeda dengan yang di kelas 2, dimana kamar-kamarnya terletak di kedua sisi gerbong, karena posisi tempat tidurnya yang searah dengan arah perjalanan kereta. Mengingat ruangan gerbong yang terbatas, namun masih diperlukan ruangan untuk berdiri di dalam kamar, maka tiap kamar penumpang berbentuk trapesium. Konsekuensinya, gang di tengah gerbong bentuknya berkelok-kelok. Masing-masing kamar terdiri dari 2 tempat tidur yang posisinya bertingkat. Pada saat awal perjalanan, tempat tidurnya dalam posisi terlipat, dan sebagai gantinya penumpang duduk di kursi secara berhadapan. Di sebelahnya terdapat wastafel cuci tangan yang bisa dilipat, serta tempat untuk menyimpan botol air minum mineral untuk penumpang. Selain juga terdapat lemari untuk menyimpan pakaian.
3. Kereta Tidur Kelas 1 (SAGW)
Gerbong tidur kelas 1 (SAGW) adalah gerbong tidur kelas eksekutif yang diperuntukkan untuk penumpang yang membayar tiket paling mahal. Para penumpang tidur di kamar luas yang diisi hanya oleh 2 orang.
Dan di tengah perjalanan, para penumpang akan diundang untuk makan malam di gerbong restorasi. Pada saat yang sama, petugas restorasi sibuk melipat kursi dan merubahnya menjadi tempat tidur. Seusai makan, para penumpang bisa kembali ke kamar masing-masing untuk tidur.
Apalagi karena posisi tempat tidur yang searah dengan arah kereta, maka tidur di gerbong SAGW rasanya seperti tidur di ranjang buaian bayi.
Kereta Tidur
Awalnya kereta api Bima berjalan melewati rute kereta api pendahulunya: Bintang Sendja. Jadi dari Jakarta dan Cirebon, kereta lewat Semarang. Kemudian menuju Kedungjati dan Solo (Jebres), serta Madiun dan Jombang, hingga Surabaya. Tapi beberapa minggu kemudian, rutenya dirubah melewati Purwokerto dan Yogyakarta hingga sekarang. Antara dekade 1960an hingga awal tahun 1980an, kereta api Bima beroperasi dengan konfigurasi standard terdiri dari 2 gerbong SAGW, 2 gerbong SBGW, 1 gerbong FW, 1 gerbong DPPW, serta satu gerbong bagasi. Karena statusnya yang merupakan KA unggulan pada saat itu, dan merupakan satu dari 2 KA eksekutif AC pertama yang dioperasikan di Indonesia, maka menaiki kereta api ini adalah sebuah prestise. Apa lagi rutenya yang melewati kota-kota besar di pulau Jawa membuatnya menjadi KA yang populer, serta merupakan icon perkereta apian pada saat itu. Bisa dibilang, pada masa jayanya, ada kebanggaan tersendiri bagi seseorang jika menaiki kereta api Bima. Apalagi pada masa itu moda transportasi lain, seperti bus atau pesawat terbang tidak bisa menyamai kenyamanan yang ditawarkan kereta api Bima. Hal ini karena para pengguna jasa kereta api Bima bisa menikmati pelayanan seperti hotel berbintang selama perjalanan. Dengan begitu mereka bisa menghemat biaya akomodasi dan transportasi secara sekaligus! KA Bima pada periode itu sering menghiasi media, dan selama beberapa kali menjadi latar setting beberapa film.
Menjadi KA Eksekutif Biasa
Sayangnya, pengguna jasa kereta api tidak lama menikmati kenyamanan seperti ini. Walaupun okupansi dan keuntungan operasionalnya memuaskan, akhirnya kelas tidur KA Bima dihapus lebih karena alasan sosial daripada teknis ataupun finansial. Dan akhirnya PJKA secara tergesa-gesa memesan 2 rangkaian gerbong eksekutif buatan Arad, Rumania, untuk mengganti gerbong SAGW. Tidak seperti gerbong buatan Gorlitz, gerbong ini adalah gerbong tempat duduk. Oleh karena itu kenyamanannya berbeda dengan kereta tidur. Rangkaian gerbong pengganti ini operasional tahun 1984.
Semenjak tahun itu, KA bima berubah menjadi kereta duduk Kelas 1. Walaupun biasanya di tiap rangkaian masih ada 1 atau 2 gerbong tidur SBGW yang asli dari tahun 1967. Sedangkan sisa gerbong tidur lainnya sempat dipakai sebentar di KA ekspress lainnya, seperti Mutiara Utara, Senja atau Mutiara Selatan sebelum diistirahatkan. Tiga diantaranya diubah menjadi gerbong kenegaraan, yang kemudian diberi nama “Nusantara”, “Bali”, dan “Toraja”. “Nusantara” adalah gerbong resmi Kepresidenan. Mereka dikombinasikan dengan sisa gerbong SBGW. Dan selama periode itu, pelayanan KA Bima perlahan berkurang. Dimulai dengan berkurangnya kualitas makanan tuslah, diikuti dengan menurunnya kualitas gerbong dan AC-nya. Apalagi gerbong K1-847xx ini ternyata dinilai sebagai gerbong eksekutif terburuk yang pernah dimiliki PT KA. Kereta Api Bima berjalan dengan formasi kombinasi K1 dan SBGW selama pertengahan hingga akhir tahun 1980an. Walaupun sebagian fasilitas kenyamanan KA Bima masih ada, tapi mayoritas penumpang tidak bisa tidur senyenyak seperti di KA Bima yang dulu. Dan pada tahun 1990, gerbong tidur SBGW berhenti geroperasi. Gerbong-gerbong SAGW dan SBGW kemudian dirubah menjadi gerbong kelas 1 jenis K1-67xxx, dengan menghilangkan sekat-sekat kamar dan tempat tidur, serta menggantinya dengan tempat duduk. Peran gerbong SBGW (yang di tahun 1985 kodenya diganti menjadi KT-677xx) digantikan oleh gerbong kuset.
Gerbong kuset di tahun 1993. (dok Lee Tjeng Tjiao). |
Gerbong kuset ini mirip SBGW, hanya satu kamarnya terdiri dari 4 tempat tidur yang paten dan tidak bisa dilipat. Tidak seperti gerbong tidur Bima sebelumnya yang dari pabriknya merupakan gerbong tidur, gerbong kuset ini merupakan modifikasi gerbong ekonomi buatan Nippon Sharyo tahun 1964, dengan menambahkan AC, sekat ruangan, dan mengganti tempat duduknya dengan tempat tidur yang paten. Walaupun gerbong Kuset sempat mengganti SBGW, namun kebijakan Perumka tahun 1995 yang lebih mengejar jumlah okupansi (daripada kualitas pelayanan) akhirnya membuat KA Bima menjadi KA eksekutif biasa. Dan semenjak itu era kereta tidur di Indonesia telah berakhir.
Regenerasi KA Bima
Tahun 1995, lahirlah kereta Argo generasi pertama, yaitu Argo Bromo dan Argo Gede. Keberadaan kereta-kereta ini otomatis menggeser posisi KA Bima dari posisi puncak kereta unggulan. Para pengguna kereta api waktu itu lebih tertarik untuk menggunakan KA Argo karena waktu tempuhnya yang lebih cepat. Dan kondisi gerbongnya yang masih baru membuatnya terasa lebih nyaman dari KA Bima.Kereta api Argo Bromo ini rutenya melewati pantai utara pulau Jawa, melewati rute yang sama dengan KA Mutiara Utara (yang digantikannya), yaitu Jakarta (Gambir), Cirebon, Semarang, sampai Surabaya (Pasar Turi). Jarak tempuh ini jauh lebih pendek jika dibandingkan dengan KA Bima yang harus memutar lewat selatan pulau Jawa, termasuk melewati rute pegunungan di sekitar Purwokerto. Faktor lainnya yang membuat KA Argo Bromo lebih cepat dari Bima adalah penguatan bantalan dan rel di pantai utara Jawa (yang dulunya memiliki tekanan gandar rendah karena sebagian merupakan bekas jalur trem), sehingga memungkinkan KA yang ditarik lokomotif besar melaju dengan kecepatan hingga 120 km/jam.
Selama beberapa tahun, keberadaan kereta api Bima seakan-akan seperti terlupakan. Dan walaupun krisis moneter sempat membuat banyak orang naik kereta api, tapi pilihan mereka adalah kereta ekspress di jalur utara pulau Jawa, seperti Argo Bromo atau Sembrani. Perjalanannya yang lama dan jauh membuat orang kurang tertarik naik KA Bima. Selain itu lokomotif yang dipakai untuk menarik kereta api Bima adalah lokomotif unggulan pada masanya, seperti lok BB200, BB201, dan CC200. Bagi sebagian besar orang, lok BB301 adalah lok yang identik dengan tahun-tahun awal operasi kereta api Bima.
Walaupun pada tahun 1977 muncul lokomotif CC201 yang juga dipakai untuk menarik KA Bima, tapi BB301 paling sering dipakai untuk KA ini.Seiring dengan menurunnya kemampuan lok diesel ini, maka sejak tahun 1990, lokomotif CC201 menggeser kedudukannya sebagai loko favorit untuk KA Bima.Kejayaan lokomotif CC201 sendiri berakhir, seiring dengan kedatangan lokomotif CC203 pada tahun 1995. Lokomotif ini kini menjadi lokomotif andalan penarik KA Bima.