Seperti kendaraan pada umumnya, kereta api juga perlu menjalani perawatan dan pemeliharaan supaya tetap prima dan tidak mengalami kerusakan. Untuk menjaga kinerja optimal, dan perawatan reguler yang diperlukan, inilah tempat Balai Yasa berperan. Di Indonesia, bengkel kereta api dinamakan Balai Yasa. Yang tak lain berfungsi sebagai tempat perawatan besar sarana perkeretaapian dalam kurun waktu per 2 dan 4 tahun (P24 dan P48) dengan tingkat kesulitan yang kompleks. Sarana yang biasa diperbaiki antara lain lokomotif, kereta, gerbong, dan fasilitas lainnya.
Karena ukuran kereta api yang begitu besar, dibutuhkan tempat yang besar pula untuk perawatannya. Di Indonesia, saat ini sudah tersebar berbagai Depo atau tempat perawatan untuk berbagai sarana perkeretaapian. Namun sebelum semuanya terbangun seperti saat ini, dulu ada 4 Bengkel Kereta Api di Indonesia atau Werkspoor dalam bahasa belanda, yaitu Balaiyasa Madiun, Pulubrayan Medan, Pengok Yogyakarta, dan Balaiyasa Surabaya Gubeng. Pada masa penjajahan Belanda dan Jepang, keempat bengkel ini didirikan untuk memfasilitasi pengiriman barang dan juga untuk memperbaiki armada kereta.
1. Balai Yasa Madiun
Didirikan pada abad ke-19, ketika kota Madiun yang subur ini gencar menghasilkan komoditas kopi dan gula untuk diekspor. Untuk memudahkan pengangkutan dan memperbesar muatan ekspor, pemerintah Hindia Belanda kala itu membangun jaringan kereta api melewati Madiun. Lintasannya mencakup Surabaya-Sidoarjo-Nganjuk-Madiun-Solo. Jalur tersebut dibangun untuk membawa gula dari sejumlah pabrik ke Pelabuhan Surabaya. Sejak pembukaan lintasan kereta api pada 1 Juli 1882, bengkel ini menjadi pusat perawatan dan perbaikan lokomotif, kereta, dan gerbong.
Stoomlocomotieven en kolentenders bij spoorwegwerkplaats Foto: Kellenbach, F.C., 10 Februari 1949 |
Di akhir abad ke-19, Werkplaats atau balai yasa dibangun di belakang stasiun. Di awal peluncurannya, Balai Yasa Madiun menjadi yang terbesar dan terlengkap se-Pulau Jawa. Balaiyasa Madiun ini merupakan cikal bakal PT.INKA, pabrik kereta api terbesar di Asia Tenggara. Selama masa pendudukan Jepang, Balai Yasa Madiun juga digunakan untuk memelihara armada perang. Tak hanya merawat dan memperbaiki kereta, Balai Yasa Madiun juga digunakan sebagai lokasi pemeriksaan seluruh sarana Staatsspoorwegen Eksploitasi Timur, menyediakan berbagai suku cadang kereta api, dan tempat perakitan jembatan baja impor.
Pada masa pendudukan Jepang hingga perang mempertahankan kemerdekaan, fungsi Balai Yasa Madiun sering berubah dan bertambah. Peralatan yang lengkap dan modern dari Balai Yasa Madiun dimanfaatkan untuk merawat juga memperbaiki armada perang pasukan Jepang. Lalu, setelah Tanah Air merdeka, Balai Yasa Madiun akhirnya dipimpin oleh orang Indonesia, yakni Kasio sebagai ketua dan Soelaiman wakilnya. Bengkel ini pernah berhasil memodifikasi lokomotif uap berbahan kayu bakar menjadi minyak solar akibat sulitnya memperoleh kayu bakar. Kemudian, Balai Yasa Madiun juga pernah dimanfaatkan sebagai tempat pembuatan dan perbaikan senjata para pejuang NKRI, seperti belati, celurit, pedang, sangkur. Balai Yasa Madiun sempat beberapa kali pindah tangan, termasuk ke Belanda pada saat agresi militer yang kedua sampai akhirnya dikembalikan pasca Konferensi Meja Bundar pada 1949 silam.
2. Balai Yasa Pulubrayan
Terletak di Medan, Sumatra Utara, Balai Yasa Pulubrayan didirikan sebagai respons terhadap pertumbuhan industri perkebunan tembakau di wilayah tersebut. Dengan pembangunan jalur Labuhan-Medan-Belawan pada awal abad ke-20, bengkel ini menjadi pusat perawatan dan perakitan kereta api serta lokomotif. Jacobus Nienhuys, pengusaha tembakau di Jawa memelopori penanaman tembakau di Deli Serdang. Bersama P.W. Jansen dan G.C. Clemen, Jacob membangun perusahaan tembakau bernama “Deli Maatschappij” pada 24 Desember 1866. Perkembangan perusahaan itu tak diiringi dengan fasilitas pengangkutan yang mumpuni. Setelah itu, jaringan kereta api di Sumtim pun dibangun atas inisiatif manajer Deli Maatschappij bernama Cremer.
De werkplaats van de Deli Spoorweg, 1900-1930 Foto: Koleksi Tropenmuseum |
Awalnya, jalur tersebut dibangun untuk memudahkan ekspor tembakau. Namun, seiring waktu, Deli Maatschappij mendirikan perusahaan baru, yakni Deli Spoorweg Maatschappij khusus mengelola sektor kereta api. Labuhan-Medan-Belawan sepanjang 23 kilometer menjadi jalur pertama yang berhasil diselesaikan. Halte Pulubrayan ikut dibangun sebagai tempat pemberhentian di lintasan itu. Pada 1919, sebuah bengkel pusat (Central Werkplaats) dibangun di sebelah timur Halte Pulubrayan. Bangunan ini digunakan untuk perawatan dan perakitan baru kereta api, lokomotif, gerbong.
3. Balai Yasa Pengok
Balai Yasa Pengok atau Central Werkpaat didirikan pada 1914 di bawah kendali perusahaan Nederland Indische Spoorweg Maatschapij (NIS). Tugas utamanya melaksanakan overhaul lokomotif, gerbong, dan kereta. Bengkel ini sempat dikuasai Jepang pada 1942, tapi berhasil diambil lagi oleh pemerintah Indonesia pada 28 September 1945. Balai Yasa Pengok berdiri di atas tanah seluas 12.88 hektare, sedangkan luas bangunannya mencapai 4,37 hektare. Ia dilengkapi sejumlah fasilitas, seperti daya listrik 1.199 KVA, genset 500 dan 225 KVA, daya tampung air 835 meter kubik, sistem telekomunikasi TOKA 29 lines, Telkom 2 lines dan HT 30 unit. Selain itu, ada juga sistem jaringan komputer nirkabel, Wifi yang didukung perangkat lunak sistem perawatan kereta api, sistem pegawai kereta api, dan sistem logistik kereta api.
Remise en werkplaats van de Nederlands Indische Spoorwegmaatschappij te Djokjakarta Foto: Koleksi Tropenmuseum |
Di sinilah berbagai kereta lokomotif diesel menjalani pemeliharaan, mulai dari yang elektrik hinggal hidrolik. Tipe perawatannya berbeda-beda tergantung waktu atau jarak yang sudah ditempuh. Misalnya, jika lokomotif sudah dinas hingga 650.000 kilometer atau 4 tahun, maka ia akan dimasukkan ke Balai Yasa Pengok untuk menjalani Pemeliharaan Akhir (PA). Sementara jika jarak tempuhnya 325.000 kilometer atau 2 tahun, maka lokomotif itu diberikan Semi Pemeliharaan Akhir (SPA).
4. Bengkel Gubeng
Bengkel ini memulai sejarahnya pada akhir abad ke-19 di Surabaya, mulai dibangun pada 1879 setelah pembangunan jalur Surabaya-Pasuruan-Malang rampung. 30 puluh tahun setelah itu, Staatsspoorwegen membangun lagi sebuah bengkel kereta bernama Soerabaja-Goebeng pada 1910 dan baru bisa digunakan tiga tahun kemudian. Letanya tak jauh dari Stasiun Surabaya Gubeng. Pembangunan tersebut terinspirasi dari bengkel kereta api terbaik di Eropa dan Amerika. Pasokan listrik dialirkan dari perusahaan swasta, Algemeene Nederlandsche Indische Electriciteit Maatschappij (ANIEM) Surabaya.
Mulanya, bengkel Gubeng hanya melayani pemeliharaan kereta api dan gerbong. Namun, pada 1925, fungsinya dimanfaatkan juga untuk pengerjaan logam dan kayu, seperti pembuatan bangku, ketel, bubut, pandai besi, pengeringan kayu, perajin timah, bagin gerobak, pengecoran besi dan tembaga, reparasi lampu, hingga pertukangan. Pada periode 1942-1945, Jepang memanfaatkan bengkel Gubeng untuk keperluan perang. Kemudian, setelah diambil alih oleh penduduk Indonesia, Balai Yasa Gubeng mulai melayani pemeliharaan lokomotif uap, gerbong, kereta, jembatan, dan timbangan, pada 1950.
Kemudian, bengkel Gubeng dulu pernah membentuk Vliegende Brigade, para tukang yang bertugas memperbaiki gerbong rusak. Pada awal 1957, bengkel ini hanya melayani pemeriksaan, pemeliharaan, dan rehabilitasi gerbong saja. Sementara untuk perbaikan lokomotif uap dilakukan di Balai Yasa Madiun. Bengkel Gubeng pernah melakukan pemeliharaan 4.684 gerbong di Madiun pada 1962. Seiring waktu, Balai Yasa Gubeng pun mulai melakukan pemeliharaan kereta ekonomi dan bisnis, termasuk kereta eksekutif Argo Bromo Anggrek.
Mengenang warisan emas ini, bengkel-bengkel kereta api tertua di Indonesia tetap menjadi saksi bisu dari perjalanan panjang industri perkeretaapian di negeri ini. Dengan peran yang tak tergantikan dalam menjaga kelancaran transportasi, mereka terus melayani dengan keahlian dan dedikasi yang tak terbandingkan.
Label
Historia KA