Mudik Lebaran Menggunakan Kereta Api Sumber: Kompas |
Bagi banyak orang Indonesia, mudik Lebaran telah menjadi suatu tradisi yang diwariskan dari generasi ke generasi. Setelah satu tahun penuh berkutat dengan kesibukan di rantau, momen mudik menjadi waktu yang tepat untuk mengambil jarak dari hiruk pikuk kehidupan kota, bertemu dengan keluarga, dan mengunjungi tempat-tempat yang penuh kenangan masa kecil. Salah satu sarana transportasi yang menjadi favorit untuk mudik Lebaran adalah kereta api. Tiket bisa dipesan secara daring dan jauh-jauh hari, menawarkan perjalanan yang nyaman dan menyenangkan. Namun, jika kita melihat ke belakang, pada masa lalu ceritanya sungguh berbeda.
Pada tahun 1960-an, banyak orang juga memilih kereta api sebagai sarana transportasi untuk mudik ke kampung halaman. Selain karena harga tiketnya yang terjangkau, pilihan moda transportasi lain masih terbatas. Tiga daerah utama tujuan pemudik kala itu adalah Semarang, Solo, dan Yogyakarta. Namun, animo masyarakat tidak bisa dipenuhi oleh ketersediaan gerbong kereta yang terbatas. Pada tahun 1962, mendekati Lebaran, pemerintah meminta kepada masyarakat agar membatasi diri dalam bepergian menggunakan kereta api atau kendaraan bermotor. Hal ini disebabkan oleh fokus pemerintah pada perjuangan pembebasan Irian Barat, yang dianggap sebagai prioritas nasional pada saat itu.
Pentingnya penyelesaian masalah Irian Barat juga disinggung oleh Presiden Sukarno dalam amanatnya setelah salat Idul Fitri pada 8 Maret 1962. Anjuran untuk tidak mudik kembali terdengar pada musim Lebaran tahun 1963, di mana berbagai instansi pemerintah dan kepala daerah menganjurkan agar masyarakat membatasi diri untuk bepergian menjelang hari-hari Lebaran.
Stasiun Gambir 1970-an |
Situasi ekonomi yang sulit pada saat itu membuat Lebaran menjadi momen yang lebih menegangkan. Beras menjadi barang langka di Jawa, dan keuangan pemerintah terserap untuk urusan keamanan serta pembebasan Irian Barat. Anjuran pemerintah untuk tidak mudik pada waktu itu didukung oleh media massa, seperti suratkabar Kedaulatan Rakjat yang bahkan membuat tajuk rencana dengan judul "Lebaran bersama Irian!". Meskipun anjuran tersebut ada, pemerintah tetap menyadari bahwa tradisi mudik tidak bisa dihindari sepenuhnya. Oleh karena itu, aturan khusus pun dibuat, terutama bagi pemudik yang menggunakan kereta api. Mereka harus memiliki surat permintaan memesan karcis (SPMK) yang dapat dibeli di beberapa stasiun dengan harga yang terjangkau.
Namun, mendapatkan Spmk tidaklah mudah, dan jumlahnya juga dibatasi. Calo pun muncul untuk menjual Spmk dengan harga yang jauh lebih tinggi dari harga resmi. Bagi mereka yang tidak mengikuti prosedur resmi, kesempatan untuk mendapatkan karcis juga sangat terbatas. Perjalanan dengan kereta api pada tahun 1960-an tidaklah nyaman. Kereta sering penuh sesak dengan penumpang, bahkan ada yang terpaksa naik di atas lokomotif. Perjalanan yang seharusnya cepat bisa memakan waktu hingga 24 jam, tergantung kondisi jalur dan kereta. Selain itu, kekhawatiran akan serobotan dan keamanan juga menjadi perhatian utama penumpang.
Namun, lima puluh tahun kemudian, pemandangan itu berubah. Pengelola kereta api berbenah, meningkatkan jumlah dan kualitas gerbong, serta mempermudah proses pemesanan tiket. Calo hampir punah, dan keamanan penumpang menjadi prioritas utama. Perjalanan dengan kereta api untuk mudik Lebaran tidak pernah semudah dan seefisien sekarang ini.
Salah satu penumpang yang memaksakan dirinya masuk kereta lewat jendela toilet yang dikarenakan pintu utama sudah penuh penumpang |
Dengan demikian, melintasi sejarah transportasi Indonesia dari masa ke masa, dapat disimpulkan bahwa mudik Lebaran telah mengalami transformasi besar dalam hal kenyamanan, keamanan, dan efisiensi. Dari kereta yang penuh sesak dan sulit ditemui tiketnya pada tahun 1960-an, hingga kemudahan dan kenyamanan perjalanan dengan kereta api yang kita nikmati saat ini. Tradisi mudik Lebaran tetap menjadi bagian tak terpisahkan dari budaya Indonesia, namun cara kita merayakannya telah berubah seiring dengan perkembangan zaman dan teknologi.
Label
Historia KA