Lokomotif Bima
Kunting, tiga unit milik Perusahaan Jawatan Kereta Api Indonesia yang diproduksi
di Balai Yasa Yogyakarta pada dekade 1960-an, mempunyai nilai sejarah yang tak
terlupakan. Nama Bima Kunting diberikan oleh Sultan Hamengkubuwana IX,
mencerminkan kekuatan dalam bentuk kecil seperti tokoh Mahabharata, Setyaki atau
Bima.
Bima Kunthing lll terpajang di titik 0 Yogyakarta |
Lokomotif ini, meskipun kecil, memiliki kemampuan pergerakan lincah dan
mampu mencapai kecepatan hingga 45 km/h (28 mph). Pertama kali diperkenalkan
pada tahun 1963 oleh Kepala Balai Karya Yogyakarta, Ir. Djoko Baroto, Bima
Kunting I, dengan nomor registrasi B100, langsung dioperasikan dan diresmikan
oleh Sultan Hamengkubuwana IX. Lokomotif ini memiliki gandar 1A, menggunakan
mesin Willys Jeep, dengan panjang 3.800 mm, dan beroperasi di jalur berlebar 600
mm.
Bima Kunthing sebelum direstorasi, (Flickr: Dodo Widodo) |
Bima Kunting II dan III, dengan nomor registrasi B200 dan B201, memulai
operasinya pada tahun 1965 di bawah kepemimpinan Kepala Balai Yasa Ir. Mardjono.
Keduanya dirancang untuk beroperasi di jalur berlebar 1.067 mm. Meskipun
dihentikan sebagai lokomotif pelangsir di Balai Yasa, Bima Kunting III menjadi
bagian dari pameran di Pameran Produksi Indonesia Jakarta 1985 sebelum akhirnya
diafkirkan dan disimpan di Balai Yasa Yogyakarta hingga tahun 2014.
Tampak Bima Kunthing setelah direstorasi |
Walaupun
terlupakan setelah masa pengoperasian, upaya untuk melestarikan Bima Kunting III
dimulai pada tahun 2007 oleh Dinas Kebudayaan DIY. Setelah melewati rehab total
dari Oktober hingga Desember 2014, Bima Kunting III dipindahkan ke Museum
Benteng Vredeburg pada 29 Januari 2015. Proses pemberangkatan ini diawasi oleh
Patroli Satlantas Polresta Yogyakarta dan penggemar kereta api, mengakhiri
perjalanan dinamis lokomotif ini menjadi pajangan statis di depan Benteng
Vredeburg.
Label
Lokomotif